Desember 26, 2018
Puisi: Malamku, Sunyiku
Hampa mengisi malam
Gelap melantunkan sunyi
Hingga aku dan ritme jantung menyapa hening
Berdialog sendu dalam diam
Sepi tak kunjung menepi
Hingga ku pergi ke ufuk mimpi
Jauh
Semuanya semu aku tahu
Kesunyian memang milikku
Tanpa celah marut insan
tak ada mulut kotor
tak ada auman absurditas
sunyiku kian meradang
disini di sepiku
aku selamat
VIsit me : ig @rosiermalfoy
Desember 26, 2018
Cerbung ~ No Title Yet. Any Idea?
Hmmmm...Sudah terlalu banyak kisah yang terjadi di dunia ini. Anggap saja
sejak pertama kali manusia diciptakan. Semua kisah sudah memiliki porsinya
masing-masing. Kalau dipetakan mungkin saja kisahku tak terlihat lagi. Atau
mungkin terlihat hanya seperti setitik pasir atau bahkan lebih parahnya seperti
partikel atom (mengingat umur bumi yang sudah purba) yang tentu saja tak dapat
dijangkau oleh penglihatan manusia.
Dari sekian kisah umat bumi, aku tentu saja juga memiliki porsi tersendiri
yang kisahnya akan segera kuceritakan padamu mulai hari Senin.
Pekanbaru Senin, 19 November 2016
Belahan bumi tempatku bernaung tengah gerimis. Aroma tanah basah
berlahan-lahan terhirup oleh hidung kecilku. Terlihat para remaja berseragam
biru putih berlarian sambil menutupi kepala dengan tas masing-masing. Rupanya
masa air turun membludak dari mulut langit yang kian kelabu. Aku segera mempercepat
langkah menuju halte karena sekitar lima belas menit lagi bus akan segera datang.
Di dalam bus orang-orang tampak hanyut dalam pikirannya masing-masing. Tak
ada komunikasi mengingat suara hujan lebih mendominasi seisi ruang. Tanganku
sibuk membereskan dokumen yang pinggirannya tampak lembab hingga sayup-sayup
telingaku menangkap suara.
“Neng...Neng mau beli kacang? Sereboan aja neng.”
Aku menangkap sesosok bungkuk pak tua yang ternyata sedari tadi duduk di
sampingku. Ia tampak sedang menjajahkan dagangannya.
Tangan keriput itu menggenggam beberapa bungkus kacang goreng yang dikemas rapi
dalam balutan plastik es lilin.
“Sereboan aja Neng” Ulangnya.
Aku segera meraih dompet dari tas. Mengeluarkan lima helai uang seribuan.
Lelaki berambut klimis di depanku tampak tertarik dengan dagangan si Pak tua.
Ia tampak memborong semua kacang. Tak lama berselang pramugara bus datang
menagih tiket tagihan kepada setiap penumang diikuti suara petir yang
bergemuruh. Seketika itu juga aku terkejut hingga dokumenku bertebaran di
lantai bus.
“Arengka Mas!” ujarku sedikit bereriak kepada pramugara yang spontan
membantu merapikan kertas-kertasku. “Arengka pak!” teriak pramugara kepada pramudi
bus mengulangi ucapanku. Bus berhenti
tepat di halte Arengka. Aku turun dengan perasaan cemas karena dokumenku yang
lembab dan berantahkan.
***
Aku tak menyangka ternyata melamar kerja begitu sulit untukku yang hanya
lulusan SMA. Ditambah lagi aku tak punya pengalaman kerja sedikit pun dan
perantara relasi sosialku pun bisa dibilang tidak ada sama sekali. Semuanya
serba baru bagiku. Aku sudah mengantar kurang lebih ke tujuh perusahaan dan
hingga detik ini belum ada satu pun pihak perusahaan yang menghubungiku.
Aku jalan tak bersemangat menuju taman kecil. Duduk dengan suasana hati
yang kacau seraya menatap rerumputan yang
tampak basah oleh bulir-bulir sisa hujan beberapa jam yang lalu. Dalam
diam aku mengunyah kacang Pak tua tadi. Rasanya sangat nikmat hingga aku sudah
menghabiskan tiga bungkus. Dahaga tentu saja. Aku segera pergi menuju
supermarket terdekat membeli air mineral. Ketika aku hendak membayar, seketika
itu juga aku sadar dompetku tak ada denganku sedari tadi.
Aku panik bukan kepalang. Pasti dompetku ikut jatuh ketika ada petir di bus
tadi. Entah bagaimana bisa aku seceroboh itu. Aku sama sekali tak ingat nomor
bus yang kutumpangi tadi. Bisa saja
dompetku mendarat ditangan orang yang tak bertanggung jawab. Entah siapa aku
tak tahu.
To be continued ~
Desember 15, 2018
Puisi: Bumi Rantauku Basah
Bumi rantauku basah
Sekawanan tirta menari liar di
malam buta
Malam legam deras meronta
Rintik riuh memecah tanah
Bumi rantauku basah
Rinai membadai tumpah ruah
Mengayun membelah sunyi
Melayang memukul hampa
Bumi rantauku basah
Semerbak petrikor terhirup syahdu
Menyeruak ke relung hati nan jauh
Menjerumuskanku pada rindu tahun
itu
Bumi rantauku basah
Basah lecun menghapus sendu
Sajak lampau menari pekat
Membelaiku pada rindu masa itu
Pekanbaru, 14 Dec 18
Oleh Desfindah Rosier
Maret 23, 2018
Cerpen: Alnitak, Alnilam, Mintaka
Angkasa begitu legam. Hitamnya
melekat tajam di gantungi miliaran bintang. Gelap yang menawan, rembulan kokoh
memajang diri dengan purnama. Aku masih di sini menyatu dengan semesta.
Berbaring di rerumputan luas berpayungkan langit, berusaha menceburkan diri ke
genangan malam. Suara alam lengang, tidak ada yang terdengar di telinga selain
sepi yang megah. Menenggelamkanku ke relung-relung hening melenakan. Menyeretku hingga kepusaran ingatan masa
lalu. Tentang kita.
Itu kita. Tiga bintang dengan formasi
sempurna. Alnitak, Alnilam, Mintaka. Sabuk Orion
nan indah. Ibuku menyebutnya rasi bintang “Waluku”. Ingatkah kau
bahwasannya tiga bintang itu melambangkan ikatan persahabatan kita? Masih
terngiang segenap kenangan tentang hitam putih antara tiga sejawat. Aku, kau
dan dia. Di tempat ini. Di tempat yang
serupa. Hanya saja sebagian pohon di sekelilingku
tak lagi menjulang mengadah langit. Rantingnya seakan rapuh ditumpuk masa, tak
ubahnya perasaanku yang sedemikian rapuhnya diterjang badai dahsyat yang keluar
dari bibir merahmu yang merah merekah. Namun hingga detik ini, tempat ini masih
menjadi pelarian dari segenap kerasnya kehidupan. Tempat syahduku bercengkrama dengan sang
malam yang legam.
Alnitak, Alnilam,Mintaka (sang
pemburu). Mereka adalah kita. Ninda, Winda dan Ayu sang pemburu kebahagiaan. Stargazing
pertama kita di malam itu diselimuti angin yang sungguh mencucuk sumsum dan
tulang. Terangnya bulan saat itu menampakkan matamu yang berbinar-binar
mengucapkan janji persahabatan. Aku menatap bola matamu lekat-lekat. Sebuah
tungku perapian. Kayu yang membara dan tak pernah kehilangan semangat. Malam
itu aku dan Winda menjadi pendengar setiamu. Hari-hari nan indah kita pikul
dengan sejuta senyuman. Mengukir kenangan tanpa ada yang mengusik. Kenyamanan
terangkul di bahuku yang turun. Kala itu aku merasakan hari-hari yang seakan
tanpa beban. Berpayung dalam kebahagian
masa-masa muda.
Lambat laun kayu-kayu di matamu mulai menghitam hingga
membaur di udara menjadi abu dan meluruh. Aku dan Winda meredam sejuta tanya.
Ada apa? Kenapa kau menghilang?
Di bawah pepohonan rindang di suatu
masa. Aku dan Winda bersemayam di bawahnya tanpa kau yang seakan melebur jauh. Saat itu
adalah senja. Mentari bersandar di punggung bukit. Lembut bias cahayanya
mewarnai langit barat. Di bawah semburat cahaya orange kemerahan sosokmu
muncul. Kau tampak tersenyum walau hanya menarik salah satu ujung bibir. Senyuman
yang jelas-jelas kau paksakan. Di kanan dan kirimu hadir sosok-sosok yang tangan-tangannya kau rangkul teramat erat.
“Maafkan aku selama ini kalian
hanyalah pelarian bagiku” Ayu memberi pernyataan yang benar-benar membuatku
menggerenyitkan dahi. Seolah apa yang dikatakannya tak masuk akal bagiku
mengingat akan hari-hari menyenangkan yang telah kami lalui.
“Apa maksudmu?” Winda tampak
bersuara.
“Di sekolah ini kalian hanya
batu-batu kecil yang tersisihkan, kebahagiaanku bersama kalian selama ini
adalah semu”
Ayu melenggang pergi. Meninggalkan aku
dan Winda dengan sejuta tanya. Kata-kata itu begitu menancap ke ulu hati. Jadi apa
artinya kami selama ini? Hanya batu-batu kecil yang tersisihkan katanya. Aku dan
Winda memang tidak populer di sekolah, tetapi tidak seremeh temeh itu. Apa artinya
popularitas jika tidak bahagia? Aku dan Winda sepakat tidak memerlukannya.
Suatu saat aku dan Winda akan
menjelma jadi batu-batu tajam yang dapat melukai kakimu. Kami memang tak
terlihat, namun kami berbahaya jika dilewatkan begitu saja.Keberadaan kami seolah
selalu disisihkan, namun jika diletakkan di tempat yang benar kami tidak akan
berbahaya. Apakah ini semacam dendam kesumat? Tidak. Tidak akan. Tidaklah hatiku
secarut itu dengan membentuk dendam tak penting. Tapi Winda? Ah air mukanya mengatakan hal yang
sama.
Mulai saat itu tidak ada lagi rasi
Orion. Tidak bisa dikatakan rasi Orion jika salah satu bintang tidak berada di
zonanya. Winda masih selalu di sisiku hingga saat ini. Kami bersatu padu dan
tampak terang benderang seperti bintang Sirius
alias Dhruva. Bintang kutub yang
paling cemerlang di langit malam. Menggambarkan kesetiaan yang kekal.
Maret 22, 2018
The Scandal of Pio (Part 2)
Di sebuah bangku taman
gue duduk menunggu Pandu. Gue ditemani Pio yang gue letakkan di dalam pet carrier. Aroma
manusia sangat kentara disini. Banyak muda mudi dan kumpulan keluarga sedang
asyik nongkrong, foto-foto dan menikmati kuliner kaki lima. Pokonya rame yang
mengasyikkan. Akhirnya yang di tunggu pun datang.
“Hai Win, udah lama
nunggu? “
“Engga, belum juga
limabelas menit.”
“Perkenalkan ini Matte yang gue
ceritain ke elo” Pandu mengeluarkan kucing persia bewarna solid red dari pet carrier.
“Lucuuu banget rupanya si
Matte ini ya...” Matte memang kucing yang lucu dan bulunya lembut sama lembut
dengan Pio. Pandu gue sodorin Pio ke arahnya dan dia selalu tampak takjub saat
melihat Pio. Tiba-tiba seseorang menyapa gue dari kejauhan. Ia berlari-lari
kecil ke arah gue. Gue sungguh tertegun melihat Resti tiba-tiba muncul di
hadapan gue.
“Restiiiii lo ke mana aja
sihhh???Gue telpon nomor lu kaga aktif-aktif dan gue juga kekosan lo, lo ngga
ada.”
“Iya hahaha. Sorry Win,
pas gue nelpon lo, HP gue tiba-tiba mati dan sengaja ngga mau ngecas, gue mau move on dari
Mulyo Win”
“Move on sih move on, lagian
pede amat Mulyo bakal hubungin lo. Orang jadi susah menghubungi lo tau
nggak...huh bocah banget sih” gue mendengus kesal.
“Cie..cie...ada yang
khawatir sama gue. Eh lagian gue nelpon lu berkali-kali pakai HP jadul gue lu
ngga angkat Win. Kemana aja sih, bukannya di telepon balik ”
“Lo telpon gue?ooooh jadi
nomor yang tadi malam itu salah satunya nomor elo?soalnya banyak nomor masuk.”
“Ya ampun tega banget
nomor sahabatnya sendiri ngga di simpen”
“Bukan gitu. Nomor lo
yang satu lagi itu ada di HP gue yang kelindes”
“What kelindes???
Kok bisa sih?”
“Ya bisalah, gue dari
rumah lo taunggak, nyariin lo. Tau-taunya HP gue jatuh dan ngga sengaja
kelindes”
“Sorry Winnn”
wajah Resti tampak memelas.
“Udah ngga apa-apa, bukan
rezeki gue. Eh iya perkenalkan ini temen gue Pandu.” Pandu yang dari tadi
terlupakan segera menyapa Resti dengan senyuman manisnya.
Hari semakin gelap. Resti
kembali bergabung dengan dua temannya dan pamit pulang. Tinggal lah gue dan
Pandu. Susana taman justru semakin ramai. Maklum malam Minggu. Pio masih dalam
genggaman Pandu, hingga ia pun kembali bersuara.
“Win kucing lo lucu
banget ya...hmmm” Pandu berbicara sambil menimbang-nimbang.
“Ya si Matte juga lucu
kok”
“Lo ngga ada gitu niatan
untuk menjual Pio. Lo kasih berapa aja bakalan gue beli deh”
“Apa??? Ya ngga bakalan
gue jual lah, Pio itu kesayang gue tau” gue sempat heran-heran sama
permintaannya dia. Ternyata memiliki seekor Matte belum cukup baginya”
“Ayolah win, kalo engga
gue pinjem deh kucing lo...gue sewa. Gimana?”
“Engga Panduuu...lo kenapa
sih?” tanya gue penuh selidik.
“Ah engga papa, okedeh
kalau gitu. Soalnya Pio lucu banget, gue suka gemes hehehe”
“Lah terus si Matte kan
lucu juga?”
“Iya lucu sih, gue cuma
pingin aja”
Senja berganti malam. Gue
memutuskan untuk pamit dari Pandu. Tadi gue sengaja jalan kaki ke taman,
soalnya letaknya tidak begitu jauh dari kosan gue. Di jalan pulang suara adzan
mulai terdengar dari berbagai arah. Gue terus berjalan menenteng-nenteng pet carrier yang
berisikan Pio. Hingga gue merasa sedikit tidak nyaman. Gue merasa di pantau
oleh seseorang. Sepertinya ada yang mengikuti gue. Gue menapak lebih kencang
hingga akhirnya sampai di rumah.
Minggu pagi gue ngga ada
punya janji, jadi gue memutuskan untuk memandikan Pio. Setelah memandikan Pio,
karena gue belum punya hair dryier jadi
gue memilih untuk menjemur Pio di bawa matahari sembari mengelap-lapnya. Gue
masuk sebentar untuk mengambil parfum dan saat gue kembali tiba-tiba Pio sudah
tidak ada di tempat. Secepat itukah? Gue panik dan segera mencarinya
keman-mana, namun Pio tetap engga ada!
Gue galau bukan kepalang.
Di teras rumah, gue mondar-mandir kaya setrika. Gue langsung teringat sama
gerak-gerik mencurigakan tadi malam. Ada seseorang yang mengikuti gue! Kali aja
dia pelakunya, tapi siapa? Pandu??
Dengan sigap gue coba
menelepon Pandu. Orang yang pertama kali gue curigai karena ia sepertinya
sangat menginginkan Pio. Nomor Pandu tidak aktif. Gue tambah curiga.
Sudah tiga hari saat
kehilangan Pio dan saat itu juga nomor Pandu tidak pernah aktif. Gue dan Resti
udah lelah keliling nyariin Pio dan tanyakin ke rumah-rumah warga serta
beberapa selembaran sudah gue sebar. Sumpah Pio itu benar-benar berharga banget
buat gue.
Di sore hari yang
melelahkan gue pergi ke taman kota. Gue duduk termenung seorang diri. Dari
kejauhan gue melihat seseorang yang ga asing dimata gue . Hey itu Pandu! Gue
melihat Pandu tengah duduk di bangku seraya memangku Pio. Ya ampun...dasar Klepto!!!masih
berani-beraninya dia berkeliaran di sekitar sini. Pencuri tolol. Eh setidaknya
itu justru mempermudah gue menemukannya. Gue langsung kesana dengan langkah
seribu.
“Heiii Pandu!!!” teriak
gue.
“Heiii...Winaaa? apa
kabar?” apa-apaan itu. Nanya kabar gue dan gesturnya normal banget seakan-akan
tidak terjadi apa-apa. Senyumannya itu loh. seluas samudra!
“Lo kenapa ambil Pio dari
gue!!?”
“Loh...bukannya elo udah
jual ke orang lain. Gue aja terkejut saat Pio malah lo jual ke orang lain.
Bukannya jual sama gue huh...lo lagi butuh duit ya sampai-sampai Pio lo jual?”
“Maksud lo? Dan kenapa
gue telepon nomor lo ngga pernah aktif?”
“HP gue kemalingan
Winaaaaa. Gue ngga tau rumah lo di mana dan harapan gue untuk ketemu lo lagi ya
di taman ini dan di Pet Shop”
“Tolong jelasin gue
gimana ceritanya Pio bisa ada sama lo? Gue itu ngga ada jual Pio sama
siapa-siapa! Jelas waktu itu Pio tiba-tiba hilang!”
“Dih serius lo? Jadi gue
beli Pio dari seorang maling?Malah mahal banget dia ngejualnya”
“ Lo masih ingat ciri-ciri
orang itu? Tolong balikin Pio gue!”
“Ngga bisa dong. Gue kan
udah beli dia. Lo harus nebus Pio kalau mau dia kembali, walau sebenarnya gue
berat banget, tapi demi lo apasih yang engga!”
“Lo tau siapa nama orang
yang jual Pio?”
“Ini surat pembeliannya. Untung
gue bawa.” Pandu mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan tertera nama Raka
Kusnandar Pracipto. Nama itu... Nama itu mirip dengan nama Samsudin. Samsudin
Kusnandar Pracipto. Tapi siapa dia?? Kenapa dia? Gue benar-benar kehilangan
akal saat itu.
“Eh itu tuh...ituuuuu!”
Pandu menunjuk-nunjuk seseorang.
“Apaan?”
“Orang itu yang jual
kucing lo ke gue!” Dari kejauhan gue melihat sosok yang mungkin tidak terlalu
asing dimata gue. Seorang laki-laki dengan tompel sebesar bola pimpong di
lehernya. Itu penjaga konter!!! Kenapa dia?!
“Ayo kita kesana Pandu!”
Gue benar-benar naik pitam saat itu. Sesampainya di sana, si penjaga konter
alias Raka Kusnandar Pracipto alias pencuri kucing gue(yang ini kayanya jauh
lebih tepat) tampak menggaruk-garuk kepalanya.
“Heh Raka. Maksud lo apa
curi kucing gue?Nggak pernah dididik sama orang tua lo?”
“Ehhh kalau ngga salah
mbak ini gue pernah liat deh, tapi dimana ya? Kok tau nama gue sih”
“Ngga usah banyak bacot
deh lo. Gue tanya sekali lagi kenapa lo rampas kucing gue!?”
“Oh iya! Gue inget
sekarang! Mbak ini pernah beli pulsa di konter tempat gue kerja!
“Woyyyy!!!” gue
benar-benar hilang kesabaran dan serasa ingin menoyor kepalanya.
“Gue ngga mencuri kucing.
Gue cuma menjual kucing”
“Lo kan yang ngikutin gue
waktu malam-malam dan paginya lo kan yang mencuri kucing gue!!!”
“Engga tuh, gue dapat
kucing ini dari abang gue dan karena gue ngga terlalu suka kucing jadi gue jual
ajadeh. Hasilnya gue bagi rata sama abang gue”
“Siapa abang lo?”
“Si samsu.”
“Samsudin Kusnandar Pracipto??????”
“Eh iya pinter. Kok lo
tau sih?”
“Persetan!!! Ternyata
abang lo yang udah curi kucing gue. Balikin ngga duitnya! Atau gue lapor polisi
dengan delik pencurian barang berharga!!!Lo tau sendirikan scottish fold itu
harganya jutaan!!!”
“Jangan gitu dong mbak.
Gue ngga tau apa-apa soal hal ini. Yang gue tau abang gue ngasih gue kucing.
Dia bilang dapat dari mantannya dan nyuruh gue jual deh...Uangnya masih ada
sama gue, masih utuh belum gue bagi rata sama bang Samsu”
“Bagus!!! Ternyata
rencana abang lo kurang rapi dan dia ngga sempat buat konsensus sama lo. Tidak
ada kongkalikong! Haha bodoh sekali dia!” Seketika gue berdiri dengan kokoh dan
tersenyum menyeringai ala joker. Saat itu Raka berjanji akan mengembalikan
uangnya kepada Pandu dan satu hal yang paling penting. Akhirnya gue bisa
memeluk Pio lagi!
Raka memohon agar
kejadian tersebut diselesaikan secara kekeluargaan saja. Pada saat itu gue
menimbang-nimbang. Rasanya gue benar-benar benci sama Sam, namun gue setuju
sama Raka kalau masalah ini ngga akan gue perpanjang. Deal sampai
disitu. Tapi urusan gue sama Sam belum selesai.
Keesokan harinya saat gue
membuka pintu, terdapat sebuah kotak dan nama pengirim tertera sangat besar
disana. SAM. Gue segera membuka kotak tersebut. Terdapat sebuah bantal
berbentuk kucing. Wajah Pio! Itu wajah Pio! Terdapat surat di bawah bantal
tersebut. Surat permintaan maaf dari Sam dan lusa dia mengajak ketemuan!!!
Di suatu hari yang gue
tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Gue ketemuan sama Sam. Dia berbicara panjang
lebar memohon maaf atas tindakan konyolnya. Dia memberi gue berlembar-lembar
duit merah.
“lo nyogok gue?”
“Gue ngga tau lagi harus
menebus kesalahan gue gimana Win, tapi tolong jangan perpanjang masalah ini,
gue tau gue bego banget. Pokoknya ambil duit ini dan gue ngga akan ngusik hidup
lo lagi. Gue emang cinta sama lo Win, tapi gue sadar sekarang kalau gue ini
memang egois dan satu hal yang harus lo tau. Bulan depan gue nikah Win. Gue
akan memulai hidup baru. Ini undangan spesial buat lo, kalau bisa lo hadir. “Bagaimana deal? ”
“Deal”.
TAMAT
Maret 22, 2018
The Scandal of Pio (Part 1)
“Gue benci Mulyo!
Pokoknya mulai sekarang gue akan membencinya.....Aaaaaaaa!!!”
Terdengar suara Resti
sahabat gue meraung-raung di seberang sana. Lebih dari itu. Dia berteriak,
menjerit, loncat-loncat layaknya mongkey hihi sejauh pengamatan gue sih
gitu. Ya, dia memang alay kalau udah soal Mulyo. Mantannya yang nggak seberapa
itu. “Winaaaaa!!! Tolong dong gimana caranya move on!!” Oke gue cukup sayang sama telinga gue. “Iya res nanti
kita bicarai lagi bye”. Dengan sengaja
gue memutus sambungan karena telinga gue udah ngilu dan yang pastinya gue inget
ini adalah jadwal ke Pet Shop. Mulai
sekarang gue akan taat sama to do list
alias daftar kegiatan yang udah gue
rancang sedemikian rupa. Jam sebelas straight
adalah jadwal membeli makanan Pio. Kucing Scottish
Fold berbulu calico kesayangan
gue. By the way Pio adalah kucing
pemberian mantan gue. Walaupun saat ini gue hanyalah seorang phatetic loser yang jomblo namun konon sangat
bermartabat.
“Mmmprewwwh”
“Mmmmaawwwww”
Oh ya perkenalkan, itu
adalah suara manja Pio yang agak nyeleneh. Kini ia mengelus-eluskan kepalanya
di kaki gue. Akibatnya kaus kaki gue yang udah molor jadi makin melorot nggak
karuan. Gue memasukkan Pio ke dalam pet
carrier alias keranjang kucing. Kalau ada kesempatan biasanya gue akan
membawa serta Pio ke Pet Shop seperti
hari ini.
Sesampainya gue di Pet Shop. Gue melihat seorang laki-laki
dengan rambut klimis. Kulit seputih susu dan yang paling penting dia sangat
tampan. Ia terus memandang ke arah Pio dengan senyum sumringah. “ Hai,
kucingnya ya mbak...? Lucu bangettt” tegur si tampan.
“Ah...eh...iya ini
kucing gue” oh tidak gue gugup!
“Oh, iya perkenalkan
nama gue Pandu nama kucingnya siapa?”
“Nama kucing gue Pio,
tuh dikalungnya ada name tagnya.”
Gila banget ni orang ngga nanyain nama gue sama sekali.
“Oh ini jenis Scottish Fold kan? Umurnya berapa?”
“Satu setengah tahun”
jawab gue singkat.
“Ada induknya ngga”?
“Ahh engga gue dapat anakannya doang” dan bla bla bla...percakapan hanya seputar Pio, Pio dan Pio. Hingga akhirnya kita bertukar nomor telepon untuk sharing soal kucing. Dia ngakunya sih gitu atau mungkin itu modus buat ngedekatin gue...hehehe.
“Ahh engga gue dapat anakannya doang” dan bla bla bla...percakapan hanya seputar Pio, Pio dan Pio. Hingga akhirnya kita bertukar nomor telepon untuk sharing soal kucing. Dia ngakunya sih gitu atau mungkin itu modus buat ngedekatin gue...hehehe.
Di perjalanan pulang HP
gue berdering, tertera nama yang sangat akrab di layar smart phone gue. Tentu saja itu Resti. Sahabat gue yang setengah
kewarasannya sedang terenggut. “Hallo Res” gue memulai percakapan.
“Winnnnnnnnnnnnn, Huaaaaaaa!!!!!!!!!” Eh buset dah ni bocah, ngga ada
habis-habisnya menyiksa indra pendengaran gue. Lengkingan mautnya refleks
membuat gue menjauhkan HP beberapa senti dari kuping gue, tapi tiba-tiba suara
itu lenyap.
Tut...tut...tut...
sambungan terputus. Gue memutuskan menunggu dia menelepon lagi, tapi sudah
banyak menit yang berlalu dan belum ada panggilan masuk. Sebagai sahabat yang
baik hati, rasa khawatir itu sudah mendarah daging. Gue memutuskan untuk
meneleponnya, tapi ternyata tidak secepat itu karena pulsa gue null!
Gue ke konter sambil
menenteng-nenteng keranjang Pio, takut meninggalkannya sendirian di motor. Di konter
gue melihat poster kucing tiga dimensi
yang benar-benar menawan. Ada banyak case HP yang bernuansakan kucing di
etalase persis di sebelah poster yang ditempel.
“Cari apa mbak?”
Tiba-tiba sebuah suara
membuat gue terkejut. Seorang penjaga konter dan gue baru pertama kali
melihatnya. Sepertinya sih orang baru, tapi wajahnya mengingatkan gue dengan
seseorang yang entah siapa. Pria di depan gue ini memiliki badan tegap, kulit
sawo matang, mata sendu dan sesuatu yang sangat tertera di bawah wajahnya.
Sebuah tompel sebesar bola pingpong di lehernya tampak begitu kontras. Sebuah
tanda lahir pikir gue.
“Cari apa mbak?”
ulangnya.
“Eh iya, mas. Gue mau
isi pulsa.
Sesampainya di depan
kosan. Gue sangat terkejut melihat
sesuatu di depan pintu. Sebuah
kotak kubus kira-kira seukuran 15x15 cm. Di atasnya terdapat satu bucket bunga mawar berbagai warna.
Cepat-cepat gue bawa benda tersebut masuk.Tertera nama pengirim di box tersebut. Nama seseorang yang gue
kenal, Sam. Sam adalah orang yang cinta mati dengan gue. Gue segera membuka kotak dan seketika wangi
bunga berhamburan. Harum sekali. Isi kotak ini hanya terdiri dari berbagai
jenis bunga. Sesuatu benda tergulung di antara bunga-bunga. Sebuah surat cinta dengan kata-kata sok puitis.
Ahhh gue bosan. Sebelumnya Sam juga pernah ngirim gue surat dan juga surel berhiaskan
kata-kata ajaib bin sok puitisnya. Tapi kali ini mengirim bunga-bunga adalah gagasan
baru baginya.
Dari arah luar
terdengar sebuah langkah. Tak lama pintu kos diketuk-ketuk memanggil. “Win, Winaaa...lo di dalam?”
Gue mengintip di balik
jendela. Ah...ternyata sih pengirim paket, Sam alias Samsudin.
“Iya. Sebentar.” Gue
cepat-cepat merapikan bunga-bunga dan mengembalikannya ke dalam kotak.
“Hai...Sudah terima
paketnya kan?”
“Ya. Makasih ya”
“Lo suka?”
“Ya gue suka bunganya,
tapi kalau sama orangnya kayanya sih engga” sumpah demi apa gue menodong dia
dengan kalimat tidak sopan itu. Ah itu murni apa adanya, gue ngga peduli.
“ Win, kenapa sih?
Kenapa lo engga pernah bisa terima gue? Lo tau kan gue cinta sama lo udah dari
dulu, gue rela nunggu lo putus sama Alfian. Pokoknya gue sayang banget sama lo
Win, lo bisa kan kasih gue kesempatan untuk kali ini?”
“Hai Samsudin Kusnandar
Pracipto, maaf ya hati gue lagi tertutup rapat dan hingga detik ini gue lagi
ngga suka sama siapa-siapa”
“Izinkan gue untuk bisa
lebih dekat dengan lo Win, kita bisa coba dan buka hati lo secara perlahan agar
bisa terima gue.
“Gue bilang, gue ngga
suka! Lu bisa ngga sih ngga maksa gue, gue muak sama semua ini. Apa kata-kata
gue ngga cukup jelas buat lo. Tolong jangan egois, mementingkan perasaan lu
sendiri sedangkan gue sama sekali ngga suka sama lo!”
“Tolong lah win, atau
lo bakal menyesal”
“Maksud lo apa, lo mau ngancam
gue? Noh Bunga sama surat lo, bawa pulang aja” gue menyodorkan kotak itu seraya
menutup pintu.
“Sial lo Win, Bukan lo
aja cewek di dunia ini!”
Gue mendengus kesal.Napas
gue putus-putus. Akhirnya Sam pergi dengan memikul sejuta amarah di pundaknya. Belum
pernah ia semarah ini sebelumnya. Laki-laki macam apa itu. Pemaksaan hati.
Tiba-tiba terdengar
suara hiruk pikuk di luar rumah. Suara emak-emak mengamuk melengking
mengalahkan suara Resti. Ada apa pikir gue. Bak di dorong tenaga gaib gue
langsung melongos ke luar dan sampai-sampai lupa pakai sandal.
“Punya mata nggak si lu,
duuaasaarr botcahh edaaannnn. Mabuk nggak usah bawa motor botcahhhhhh!!!”
“Ampun mpok, ampun!!!”
Dan ternyata Sam menabrak kandang ayam di
rumah milik salah satu warga. Ayam berkeliaran keluar dengan bulu yang
berhamburan bak salju. Sialnya kandang itu ambruk dan Sam kena carut marut sama
pemilik kandang. Untung ngga sampai di gebukin sama warga disitu. Jadi ibarat
petinju yang masih sempoyongan akibat terkena upper-cut lawan yang telak ke ulu hati, kini harus pula menerima swing-jab keras di rahang. Ah dasar Sam
yang malang. Baru juga cintanya kandas kini harga dirinya bagai ditisuk sembilu
yang di tetesi lemon dan cuka. Pedih euyyy.
Sam menatap gue dengan
tatatapan menahan malu. Harga dirinya jatuh dua kali. Melihat penampilanya yang
awut-awutan bermandikan bulu, gue ingin ketawa tapi takut dosa dan akhirnya gue
melenggang pulang. Hahahaha enemy has
been slain!
Anyway
busway, gue teringat soal Resti. Kini gue berbaring cantik
di atas kasur dengan selimut selembut bulu Pio. Gue segera menelepon bocah
malang tersebut, tapi nomornya tidak aktif.
Lantas level kekhawatiran gue meningkat 0,5 persen. Gue segera menelepon
Mulyo mantan Resti.
“Iya ada apa Win? Kalo
lo mau maki-maki gue gara-gara Resti, sorry gue ngga punya waktu”
Waduh, songong abis ni
anak. Entah pakai pelet titisan siapa si Resti bisa klepek-klepek sama orang
ini.
“ Songong lu, gue cuma
mau tanya”
“Tanya apa? Kalau tanya
soal Resti, waktu gue terbatas.”
“Yaelah...gitu amat,
amat aja ngga gitu”
“Basi”
Darah gue rasanya udah
naik ke ubun-ubun. Mulyo ketus banget. Songong luar binasa.
“Woy! Resti hilang!”
nada gue mulai meninggi.
“ Apaaa!!!”
“Resti hilang!” Ah kali
ini dia mulai panik.
“Resti hilang???
Mungkin sembunyi di kolong tempat tidur. Dah dulu ya bye”
Siaaaaaaaaaallllllll.....kok
ada ya manusia kaya gitu. Level kekhawatiran gue naik 1,5 persen. Gue segera
siap-siap menuju kosannya. Mungkin benar kata Mulyo dia sembunyi di kolong
tempat tidur dan gue idiot kalau percaya.
Setibanya di kosan
Resti. Semuanya tampak aman, tentram dan damai. Gue ketuk pintunya. Keluar Dian
teman sekosanya.
“Restinya Ada?”
“Resti bukannya pergi
sama lo Win?”
“Engga ada tuh, emangnya dia bilang apa sama
lo?”
“Tadi sebelum pergi dia
bilang mau main tempat lo gitu sih katanya...”
“Lu udah telpon dia?”
“Kaga ada
sihhh...palingan dia mojok sama Mulyo”
“Oh gitu, yaudah gue
pamit”
“Lah gitu doang?”
“Iya gue cuma mastiin
doang”
Okeee kali ini gue
benar-benar khawatir dimana Resti berada. Hari mulai gelap dan gue mulai takut.
Jalanan daerah kosan
Resti minim cahaya dan kawasan perumahannya pun tampak benar-benar sepi. Gue
berkendara lebih kencang hingga tiba-tiba.
Plakkkkk...!!!
Sesuatu telah terjatuh
dan gue pun memutar motor.
Crashhh! Dan ternyata HP
gue terlindas pemirsa. Ia hancur berkeping-keping. Gue mau nangis rasanya.
Nyesek sekali. Segera gue selamatkan kartu sim dan juga memori HP yang masih sehat
walafiat.
Setibanya di rumah,
gue memindahkan kartu sim ke HP jadul
gue. Sial! Nomornya hilang semua, hanya ada nomor Resti, nyokap, bokap dan adik
gue. Selebihnya ada di memori telepon HP gue yang rusak. Biarlah. Setidaknya cuma
itu nomor-nomor yang penting dan paling sering gue hubungi. Gue iseng menelepon
Resti dan nomornya masih ngga aktif. Tiba-tiba nomor yang ngga gue kenal
memanggil. Gue nebak ini pasti Pandu.
“Hai Win, masih ingat
gue kan? Gue Pandu yang tadi di Pet Shop.
“Hai juga, masih
dong...”
Dan tanpa pamit, gue
langsung memutuskan sambungan karena perut gue mules luar biasa. Gue langsung
lari tunggang langgang ke toilet. Beberapa menit kemudian gue cek HP. What’s tujuh belas panggilan tak
terjawab. Dari bermacam-macam nomor yang berbeda. Tak lama kemudian telepon
berdering lagi. Nomor yang barusan miscall
entah siapa.
“Hai, lo kemana aja kok
menghilang?” masih suara Pandu ternyata.
“Hai, sorry tadi
masakan gue hangus” gue beralibi. “Oh iya ngomong-ngomong kok nomor lo banyak
amat Ndu?”
“Eh iya sorry gue
nelpon pakai HP temen, batrai HP gue batrainya low”
“Oh gitu...iya deh”
singkat cerita Pandu ngajak gue ke taman Kota besok sore dengan syarat membawa
kucing masing-masing.
Lanjut Part 2--------->
Maret 12, 2018
Mahasiswa alias Maha Tugas
"Kringggg......Kringggggg......Krinnggggg"
Kelopakku mengepak malas mencari asal bunyi tersebut. Bunyi yang membuyarkan mimpi indah, anggaplah demikian. Mesti aku tak tahu pasti mimpi apa aku sekian detik yang lalu. Aku segera meraih sumber bunyi tersebut. Hp android dengan case bergambar Scottish Cat kesayanganku. Tentu saja dari sana bunyi itu berasal. Kali ini aku enggan menekan tombol snooze karena sudah satu hingga dua......puluh kali aku melakukannya. Udara dingin menghelai-helai tubuhku, merayu hingga ke pori-puri kulit. Hingga akhirnya selimut tebal itu berhasil menelanku. Apa salahnya tidur lima menit lagi!
"Kringggg......Kringggggg......Krinnggggg"
Suara menyebalkan itu berdering untuk kesekian kalinya dan aku langsung melakukan manuver. Segera ku tekan tombol off pada layar Hp tersebut takut terjebak tidur lagi. Jam empat pagi! Padahal semalam aku berjanji akan bangkit jam dua belas malam. Mataku terbelalak dan tanganku dengan sengaja menepuk jidat lebarku yang tak bersalah.
Aku Daira, mahasiswa semester lima yang perlu dirukiyah. Aku yakin pasti banyak jin nakal dalam raga ini. Segala tugas kampus menumpuk dan belum ada satupun yang terjamah. Sedangkan duapuluh episod anime sudah tuntas kutonton sampai rela menahan tidur. Aku sadar level penunda-nundaku ini sudah menduduki tahap kronis dan aku benar-benar mahasiswa berdosa yang memerlukan video motivasi.
Aku merelakan selimut tebal itu lingsir dari tubuh kurus ini dan mengonggokkannya sembarangan. Kini ragaku tengah di atas kursi dan mulai merasakan adrenalin menit-menit terakhir menuju deadline.
"Dairaaaaaa!!!... Daira kucel!!!... Open the door please!"
Terdengar suara Ami teriak-teriak sembari menggedor-gedor pintu kamarku. Ami selalu begitu. Menjulukiku Daira kucel dan selalu menggedor-gedor bak orang kesurupan.
"Ami! Lu tau kagak ini jam berapa?" tanyaku heran.
"Jam 4 lewat dikit-dikit. Gue mau minjem dua telur Ra, gue liat lu kemarin beli telur satu papan. Buruan deh keburu imsak. Besok gue ganti! BENERAN!!." Cerocos Ami, teman sekosanku.
" Untung gue lagi ngga tidur, sial lu Mi..." Besok ganti beneran loh! Gue lagi hemat-hemat soalnya."
"Enjeh mbak kucel, rambut lu makin kribo aja... Setres sama tugas ya hahahaha!"
Ami berkata sembari meninggalkan kamarku. Aku mendengus kesal, sebenarnya aku pingin rebonding, tapi buat apa juga sih! pikirku.
Aku segera menutup pintu kamar dan listrik pun seketika padam.
"sial !!! " Jeritan Ami terdengar dari kejauhan. Hatiku juga berkata hal yang sama. Aku yakin batrai laptoku takkan sanggup bertahan dalam satu jam ini dan yang paling penting adalah aku takkan mampu mengerjakan tugasku hanya dalam waktu satu jam. Bermodalkan nekad aku gedor pintu Tuti, teman kosanku yang lain, dan memutuskan untuk memintanya mengantarku ke warnet yang buka 24 jam. Agak jauh dari kosanku memang, dan aku tak punya motor.
"Tut, tolong anter gue dong ke warnet dekat Gang Jihat itu, cuma anter aja Tut...please" aku memasang wajah melas level tak terhingga.
"Jangan harap!!!" jawab Tuti ketus, dengan mata melotot, bak sedang mencondongkan pisau ke arahku. Aku takut rumor tentang Tuti yang berkepribadian ganda itu bukan sekedar rumor.
Tiba-tiba Tuti tertawa lepas. Aku ketakutan. "Hei biasa aja liatin gue, gue becanda kali!!!" ujar Tuti kalem. Darahku mengalir normal, aku lega.
Di ruangan petak nan sempit ini aku duduk dengan keadaan panik. Bintang-bintang lingsir digantikan sang mentari. Jam 06:45, aku mulai panik mungkin inilah akhirnya. Sebuah kegagalan perkasa, melewati mid semester dengan penuh penyesalan dan kebodohan. Baiklah aku gagal.
***
Hari Minggu pagi anak- anak kos tampak ceria, kecuali aku yang sibuk dengan tugas takut kegagalan keduakalinya akan menjemputku. Pak Nurdin selalu konsisten dengan perkataannya. "Jam tujuh ya jam tujuh, lewat dikit itu urusan lu" dia mengucapkan kata-kata ajaib itu tempo hari ketika aku minta keringanan satu hari lagi. Ternyata walaupun suka bercanda, Pak Nurdin tetaplah punya prinsip yang tak bisa di goyah sedikitpun. Aku menyesal nilai mid semester ku kosong. Tak ada tugas tambahan karena itu sudah komitmen awal. Apa boleh buat, belajar dari kesalahan. Begitu kata orang-orang.
Kali ini tugas sintaksis tengah kujamah, beberapa tugas lainnya masih di awang-awang. Hilir mudik dipikiran. Belum tersentuh. Kawanku yang lain sibuk juga, keluhan sana sini juga membuatku mual mendengarnya. "Ra tugas ini lu uda, Ra tugas yang dikasih sama buk bla bla bla bla bla " begitulah kira-kira bunyinya. Mereka yang cuma bisa nyontek, mereka yang cuma bisa copas, namun apa bedanya sama aku yang procrastinator ini. Jauh lebih parah kesannya. Penunda-nunda akut nan lamban, bak siput yang akhirnya jatuh semaput lihat nilainya sendiri.
Dosen selalu bilang hal sejenis ini "Padahal saya kasih waktu satu minggu untuk mengerjakan ini, kalian ngapain aja di rumah? Seharusnya dengan waktu satu minggu ini kalian bisa mengerjakan lebih baik dari ini". Mendengar pernyataan itu aku membuncah, dia pikir tugas kami cuma dari dia. Okelah dosen selalu benar dan pernyataan itu benar-benar membuatku nanar.
"Dairaaaaa!! Daira Kucellll, open the door please!!" Bisa kau tebak itu pasti Ami dan bisa kau tebak pasti ia ingin mengembalikan telur. Benar saja, dua buah telur dikepalan tangannya yang kecil. "Muchas gracias Daira" ucap Ami berterimakasih dengan bahasa spanyol.
"Sama-sama" ujarku sembari menutup pintu sebagai sinyal bahwa aku memang tengah sibuk. Istilah kapal pecah untuk menggambarkan kondisi kamarku memang tak layak. Lebih layak disebut kapal meledak dengan puing-puing yang tercecer disana sini. Kertas-kertas, piring kotor, baju kotor, serpihan-serpihan makanan semuanya bersahabat di kamarku. Ini baru semester lima kawan. Ataukah memang disemester lima ini puncak tugas yang membeludak? Belum lagi sypnosis, proposal dan hal yang paling dieluh-eluhkan mahasiswa semester akhir. Skripsi.
Tugas memang banyak, toh pengalamanku juga bertambah. Teman makin akrab karena sering ngeluh bareng. Ya begitulah mahasiswa...
23:06, 02/01/17
D' Rosier
Popular Posts
-
Semua hanyalah perihal senja Oranye pekat membentang elok Teduh Mata-mata menjingga Rapuh Ketika jingga menghitam Senja esok, senja ...
-
"Kringggg......Kringggggg......Krinnggggg" Kelopakku mengepak malas mencari asal bunyi tersebut. Bunyi yang membuyarkan...
-
Bumi rantauku basah Sekawanan tirta menari liar di malam buta Malam legam deras meronta Rintik riuh memecah tanah ...
-
Di sebuah bangku taman gue duduk menunggu Pandu. Gue ditemani Pio yang gue letakkan di dalam pet carrier. Aroma manusia sangat k...
-
Sinar mentari itu mulai muncul di sela-sela gorden jendela yang segera membuat silau pandanganku. Mataku masih berat. A...
-
Angkasa begitu legam. Hitamnya melekat tajam di gantungi miliaran bintang. Gelap yang menawan, rembulan kokoh memajang diri dengan p...
-
Hmmmm...Sudah terlalu banyak kisah yang terjadi di dunia ini. Anggap saja sejak pertama kali manusia diciptakan. Semua kisah sudah memilik...
-
“Gue benci Mulyo! Pokoknya mulai sekarang gue akan membencinya.....Aaaaaaaa!!!” Terdengar suara Resti sahabat gue meraung-r...
-
Hampa mengisi malam Gelap melantunkan sunyi Hingga aku dan ritme jantung menyapa hening Berdialog sendu dalam diam Sepi tak kun...